Jumat, 15 Juli 2011

Jilbab antara TREND dan KEWAJIBAN


 “Kudung GAUL”. Itulah kalimat pendek yang membawa TREND kerudung bagi para muslimah. Ketika kaum muslimin yang mukmin dan bertaqwa mendambakan kesadaran kaum muslimah dalam kewajiban berbusana muslim alias JILBAB, ada satu harapan optimis bahwa masa depan kaum muslimah akan melahirkan generasi umat yang sadar hukum, karena merekalah yng melahirkan anak2 en akan terdidik dengan pendidikan islam yang membawa patuh pada sang pencipta-Nya.

Jangan heran kalo beberapa waktu belakangan ini makin marak para muslimah berbusana muslim. Sebab, sepertinya sudah jadi tren. Dengan beragam model pakaian, bermacam gaya berkerudung, beraneka, bervariasi, para muslimah menunjukkan jati diri. Keren juga deh.
Berbagai model kerudung dijajakan. Bermacam model pakaian dipajang. Tawaran ragam harga diajukan. Mau yang murah? Ada. Yang mahal? Tersedia. Banyak pilihan yang menggiurkan. Namun kemudian muncul tanya. Apakah fenomena berkerudung dan berjilbab itu sejatinya gambaran kebangkitan umat Islam? Gambaran kesadaran beragama, khususnya di kalangan muslimah, yang kian kental? Ataukah cuma arus trend yang sebentar lalu akan tergerus oleh arus trend berikutnya, yang lainnya? Dan lagi-lagi umat Islam, muslimah khususnya hanya dijadikan obyek marketing, tambang uang bagi sebagian pihak.

Jangan kapitalisasi jilbab kami, please!

Fakta bahwa semakin sering dan mudah dijumpai muslimah berkerudung dan berjilbab nggak bisa dibantah. Fakta kalau jilbab, kerudung, dan jenis busana muslimah lainnya berserta pernak-pernik aksesorisnya saat ini jadi komoditi dagang yang potensial menghasilkan keuntungan besar, itupun nggak bisa disangkal. Sehingga nggak heran makin banyak kreator alias desainer busana muslimah berlomba berkreasi menciptakan desain jilbab dan kerudung yang bisa menarik hati calon pembeli dan yang pasti sih menarik uang dari kantong mereka.

Lantas di mana sisi “jilbab adalah baju takwa” ditempatkan? Di mana peran dan tanggung jawab para desainer dan pengusaha untuk ikut memahamkan umat tentang jilbab? Mensyiarkan jilbab yang sebenar-benarnya jilbab. Jilbab yang sejatinya ada karena Allah yang memerintahkan para muslimah memakainya. Bukan sekadar pakaian yang menutupi badan. Tapi itu akan dilakukan karena sandaran keimanan. Tidak lain dan tidak bukan. Sehingga desain yang dihasilkan pun semestinya mengikuti kriteria jilbab yang Allah perintahkan, bukan semata-mata bersandar pada daya kreativitas si manusianya aja. Bagus en indahnya bukan hanya berdasarkan pandangan manusia aja, gitu lho. Sebab, dakwah bukan hanya tugas dan kewajiban ulama. Dakwah adalah tugas dan kewajiban tiap individu muslim, termasuk  para desainer dan pengusaha muslim.

Allah Swt. berfirman (yang artinya):
Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?” (QS Fussilat : 33)

Untuk kita sebagai pembeli, sebenarnya sah-sah aja memilih dan akhirnya membeli busana muslimah yang bagus dan indah. Apalagi kalau itu dalam rangka ibadah, pastinya lebih indah. Tapi, kalau sampai aktivitas membeli tadi mendekat ke perilaku konsumtif bisa berabe. Kalau beli jilbab cuma karena ikut tren, urusan ibadah bisa malah jadi terbengkalai. Pahala nggak jadi tergapai. Yang ada perilaku konsumtif menjadikan kita sebagai pemboros. Bener nggak sih? Itu sebabnya, pemahaman yang benar soal jilbab jadi urgen banget didapatkan. Jangan sampai gara-gara beli jilbab malah bikin kita terjerumus nggak berperilaku takwa karena sekadar ngejar trend.

Kami beriman, maka kami berjilbab!

Menutup aurat dan berjilbab (pakaian longgar, panjang, bukan potongan, semacam jubah, mirip gamis) bagi tiap muslimah adalah kewajiban. Tidak ada sanggahan yang bisa diberikan untuk menyangkal kewajiban ini.
Oya, biar lebih jelas, jilbab bermakna milhâfah (baju kurung atau semacam abaya yang longgar dan tidak tipis), kain (kisâ’) apa saja yang dapat menutupi, atau pakaian (tsawb) yang dapat menutupi seluruh bagian tubuh. Di dalam kamus al-Muhîth dinya­takan demikian: Jilbab itu laksana sirdâb (tero­wongan) atau sinmâr (lorong), yakni baju atau pakaian yang longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutupi pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung. Moga aja setelah ini nggak kebalik-balik lagi ketika membedakan antara jilbab dan kerudung. Jadi, bagi kamu yang baru sekadar pake kerudung, buruan lengkapi dengan jilbab ya. Ok?
Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Dan katakalah kepada para perempuan beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak pada dirinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (QS an-Nuur: 31)
Dalam ayat yang lain Allah Swt.  berfirman: “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu.” (QS al-Ahzab: 59)

Berjilbab seharusnya dilakukan karena kesadaran bahwa itu perintah Allah. Tapi, nggak jarang juga yang cuma modal ikut-ikutan. Kayaknya pake busana muslim asyik, deh. Kayaknya bikin makin cantik dan anggun, deh. Wah, kalau kayak gitu bisa bahaya, Non! Modalnya cuma ikut-ikutan, tahannya bisa jadi cuma sebentar deh.  Kalau nggak segera lurusin niat dan mengkaji lebih dalam soal jilbab, bisa jadi pakai jilbab bongkar-pasang, atau malah lepas beneran. Na’udzubillahi min dzalik.
Berjilbab sebagai salah satu buah keimanan seharusnya nggak hanya sampai permukaan. Karena memang jilbab bukan sekadar pakaian, dan berjilbab bukan sekadar berpakaian. Berjilbab semestinya jadi pemicu bagi kita untuk mau menyegerakan diri menjadi hamba Allah yang lebih baik. Jadi nggak ada ceritanya udah berjilbab eh tapi masih pacaran. Atau udah berjilbab tapi masih seneng datang ke konser yang campur-baur antara laki-laki dan perempuan plus jingkrak-jingkrakan. Idiih...Nggak banget tuh!
Sekali lagi berjilbab adalah pintu gerbang, merupakan garis start untuk melakukan amal sholih berikutnya, dst. Sehingga setelah berjilbab harusnya seorang cewek terus terpacu untuk menggali ilmu Islam lebih dalam. Jadi lebih konsisten dalam mempelajari Islam. Proses belajar tiada henti terus dijalani. Ending-nya hanya ketika kematian datang.
Nah, sekarang tinggal instropeksi diri. Udah berjilbab tapi masih males datang ke pengajian? Udah berjilbab tapi masih bikin susah ortu? Udah berjilbab tapi masih seneng hang-out bareng temen-temen cowok? Udah berjilbab tapi masih itung-itungan untuk beramal? Yang pasti semua rencana yang udah dibuat nanti harus direalisasikan sebagai wujud pembuktian atas satu kalimat yang telah diucap bersama dengan yakin dan mantap:

KAMI BERIMAN, MAKA KAMI BERJILBAB!!!

1 komentar:

  1. wahai para bidadari yang kakinya manapak di bumi, yang kecantikannya melabihi bidadari syurga, tutuplah auratmu, karena engkau adalah mutiara yang amat berharga. bahkan bidadaripun cemburu padamu karena kecantikanmu dalam menutup auratmu...

    BalasHapus