Rabu, 20 Juli 2011

Secangkir Kopi Revolusi

Apakah kita cukup berani untuk mengatakan yang benar sebagai sebuah kebenaran dan yang salah sebagai sebuah kesalahan? Atau kita bahkan tak tahu dengan jelas mana yang disebut kebenaran? Hingga kita mencampuradukkan keduanya.

Mari duduk bersamaku kawan. Kan kuseduhkan secangkir kopi sambil kita bercerita tentang kebenaran. Nalar kita akan tumpul jika tak sedikitpun kita berpikir tentang kehidupan. Jiwa kita akan mati jika terus terlena dengan kenikmatan dunia. Dan idealisme kita akan memudar jika api perlawanan terhadap kebatilan kita padamkan.

Sampai kapan kita mau dibohongi oleh rezim yang tak bertanggung jawab? Tentang klaim-klaim yang tidak ada faktanya sama sekali. Dan sampai kapan kita akan disengsarakan oleh gurita kapitalisme? Yang mencengkram lengan-lengan kita, menghisap sari pati kebahagiaan kita, dan mengambil segala sesuatunya dari kita.

Mari duduk bersamaku kawan. Kan kuseduhkan kopi paling nikmat. Dari bijih kopi yang tumbuh subur di kaki gunung Kilimanjaro. Kita akan menyeruput segelas kopi sambil berbicara tentang revolusi, tentang perubahan. Sekali waktu kita akan menjejakkan kaki di puncak Semeru. Meresapi belaian angin yang begitu dingin. Membawa seluruh impian kita tentang merubah dunia. Tentu kau masih yakin dengan impian itu kan? Impian yang juga telah digariskan Tuhan kita.

Kita akan menarik kembali kegemilangan dari puncak Baghdad. Kegemilangan yang diketahui oleh seluruh umat manusia sebagai kemajuan intelektual, bahkan di saat Eropa masih bermesra dengan kebodohan yang dibaluti dengan kebohongan-kebohongan gereja dan warna-warni mantra tukang sihir.

Mari duduk bersamaku kawan. Kan kuhidangkan segelas kopi Robusta dan Arabica dari Tanah Gayo Serambi Mekkah. Yang membuatmu ketagihan dengan aromanya yang harum, sambil kudendangkan kembali Syair Perang Badar dan Hikayat Perang Sabil. Agar ruh perang suci itu tidak lekang dari kita. Agar kita pula tak lupa bahwa mahar gadis-gadis surga adalah raga yang dikorbankan.

Kita begitu berbeda dalam segala hal, kecuali dalam rasa cinta. Rasa cinta pada Allah, rasa cinta pada Rasul-Nya, rasa cinta pada umat manusia, dan rasa cinta pada perjuangan ini. Berbahagialah mereka yang memiliki rasa cinta, yang hidup dipenuhi dengan cinta dan ketaatan, dan mati dalam keadaan beriman. Perbedaan kita menyatu utuh dalam cinta yang mewangi, sewangi bunga-bunga yang mekar di lembah Seulawah.

Mari duduk bersamaku kawan. Kan kujamu kau dengan secangkir kopi pahit yang berpadu dengan rasa manis di ujung lidah. Kita akan bercerita tentang perlawanan yang kita rangkai dari sketsa penderitaan kaum tertindas. Cerita-cerita yang terlalu pahit untuk kita resapi, tapi terkadang menjadi stimulus lahirnya keberanian. Perlawanan yang kita yakini akan berujung pada tumbangnya rezim diktator dan runtuhnya sistem busuk yang cacat. Perlawanan yang berakhir dengan tatanan dunia baru. Dunia di bawah bendera yang pernah dikibarkan Kanjeng Nabi Saw dan para Sahabatnya. Bukankah akan terasa manis kawan? Ya, bahkan terlalu manis untuk kita kecap berdua saja.

Aku masih di sini kawan. Masih menghangatkan tubuh dengan secangkir kopi panas. Mengembalikan energi yang terkuras kemudian menjejakkan kaki kembali di medan laga. Di bawah lindungan Ilahi, secangkir kopi masih setia menemaniku. Mari duduk di sini kawan, sebelum kita berangkat kembali, kiranya kau sudi berceloteh bersama lagi tentang revolusi suci, tentang kebenaran, tentang Syair Perang Badar dan Hikayat Perang Sabil, dan tentang kehidupan yang lebih baik. Mari kita duduk berhadap-hadapan dengan ditemani secangkir kopi. Secangkir Kopi Revolusi
Oleh: Kusnady Ar-Razi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar